Tak menyangka, sudah sebulan kamu meninggalkanku. Perpisahan ini seperti mendorongku pada dunia yang sungguh menyorotkanku pada keterpurukan. Aku semakin tidak mengerti. Takdir ataukah hanya keterpaksaan yang membuat jalan kita semakin terlihat gelap?
Tak ada lagi kamu yang mengisi barisan hari-hariku, biasanya hanya kamu yang mengisi inbox handphone-ku. Aku ingat sekali tawa khasmu, serta logat bahasamu yang tidak jelas itu. Tak ada lagi semangat, dan sapaanmu yang siap mengantarku ke alam mimpi. Tak ada lagi genggaman tanganmu yang menguatkanku. Tak ada lagi pelukan khas dari lenganmu yang meredam segala airmataku. Tanpamu...semua berbeda, semua tak lagi sama.
Mentari datang, melewati celah- celah vitrace-ku dengan tatapan yang sama. Aku membuka mata dan berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau tak ada kamu yang memenuhi hari-hariku. Aku mencoba meraih ponselku, apakah disana sudah ada malaikat yang bersarang? Namun, tak ada lagi pesan singkat darimu. Hari yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang hilang.
Lalu, kujalani rutinitasku seperti biasanya. Kamu tentu tahu. Dulu kita sering berbagi hari- hari yang kita jalani. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang ikut berperan dalam hari- hariku. Tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkanku untuk menjaga pola makan ataupun hal yang harus kulakukan. Sepele memang, aku mandiri dan sangat tahu apa yang harusnya aku lakukan. Tapi...entah mengapa aku seperti merasa kehilangan yang telah kujaga. Aku seperti mencari, tanpa pernah tahu apa yang kucari.
Siapa yang harus disalahkan? Aku kah atau kamu? Atau keadaan ini yang selalu menyudutkan kita, sehingga kita tak mampu merubahnya? Atau jarak yang telah lama menyiksa kita, sehingga kita tak mampu saling mengobati satu sama lain? Siapa yang harus menyembuhkan luka- luka dihati kita berdua? Haruskah . . . . .
Aku benci pada setiap aktifitas yang kujalani bersamamu, dan sekarang tak lagi bersamamu. Aku benci pada sorot matamu yang enggan pindah dari langit- langit kamarku. Tatapan itu seperti membawaku pada angan-angan tinggi dan jatuh karena realita yang memukulku. Aku benci, aku selalu terbawa pada halusinasi atas kamu dan aku, seperti yang sering kamu ceritakan. Kamu, Aku, Kita; yang dulu satu .
Mencoba untuk tidak mengingat rasa sakit yang kamu berikan. Semakin lama aku merasa...entahlah. Rasa ini begitu absurd dan sulit untuk kujelaskan. Aku terjebak pada ilusiku sendiri. Kamu yang meninggikanku, membawaku ke tempat yang sangat sulit kuartikan sebagai cinta atau obsesi sesaat. Rasanya ingin sekali aku mengobrak- abrik isi kamarku, memecahkan kaca tersebut agar takkan pernah lagi melihat diriku. Aku tak mengenali siapa sebenarnya yang ada pada kaca itu. Aku kehilangan setengah dari diriku yang kamu bawa pergi, entah kapan kembali. Kamu mengambil semua yang aku punya. Kamu merampas habis cinta yang aku punya. Tubuhku menghilang secara magis, setelah kepergianmu. Entahlah, aku seperti kehilangan arah.
Apa yang harus aku lakukan? Rasa kita memang berbeda Sayang. Kamu perlu mengajariku untuk tidak terus meratapi apa itu kehilangan. Kamu perlu mengajariku untuk tidak terus mengejar bayangan. Kamu perlu mengajariku untuk tidak menangisi yang sebenarnya tak perlu kamu tangisi. Jawabanmu selalu sama, aku benci kamu yang tak lagi peduli. Tak bisakah airmataku ditukar dengan kebahagiaan kita di masa lalu? Aku bisa berhenti memercayai cinta jika terlalu sering tenggelam dalam keterpurukan ini. Siksamu memang terlalu besar untukku dan aku terlalu lemah untuk merasakan semua rasa sakit yang telah kausebabkan.
Bagaimana mungkin aku bisa menemukan yang lebih baik jikaaku pernah memiliki yang terbaik? Bagaimana mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih sempurna jika aku pernah memiliki yang paling sempurna?
Aku benci pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu
harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja bahagia ataupun
tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka. Kita seperti saling menyakiti, tanpa
tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu
apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar
cinta. Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah
harus kusebut apa. Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit
itu. Aku merasa sangat kehilangan, sementara kamu dalam hitungan jam telah
menemukan yang baru. Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud
kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu
melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang tak pantas kau lukai(?)
Jam berganti hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku
jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Kamu lanjutkan hidupmu, tentu saja
dengan dia. Aku tak menyangka, begitu mudahnya kamu menemukan penganti. Begitu
gampangnya kamu melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi
otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di
hatiku? Atau... mungkin saja kamu tak punya otak? Atau tak punya hati?
Tak banyak hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan.
Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu pergi dan tak
berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya berusaha menikmati luka, hingga
aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan,
kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati
sakitnya.
Aku mulai suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku
mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh
cinta pada rasa sakit yang kau ciptakan selama ini.
Aku benci pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu
harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja bahagia ataupun
tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka. Kita seperti saling menyakiti, tanpa
tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu
apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar
cinta. Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah
harus kusebut apa. Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit
itu. Aku merasa sangat kehilangan, sementara kamu dalam hitungan jam telah
menemukan yang baru. Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud
kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu
melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang tak pantas kau lukai(?)
Jam berganti hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku
jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Kamu lanjutkan hidupmu, tentu saja
dengan dia. Aku tak menyangka, begitu mudahnya kamu menemukan penganti. Begitu
gampangnya kamu melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi
otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di
hatiku? Atau... mungkin saja kamu tak punya otak? Atau tak punya hati?
Tak banyak hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan.
Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu pergi dan tak
berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya berusaha menikmati luka, hingga
aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan,
kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati
sakitnya.
Aku mulai suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku
mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh
cinta pada rasa sakit yang kau ciptakan selama ini.
Terimakasih
Karena rasa sakit ini, Tuhan menjadikanku lebih dekat pada rasa bersyukur.
Karena rasa sakit ini, Tuhan menjadikan pundakku lebih luas dan kuat.
Karena rasa sakit ini, Tuhan menyadarkanku agar tidak berpeluk pada lengan yang salah.
Tuhan masih mengizinkanku untuk membiarkan rasa ini tetap mengalir untukmu.
17 February 2012.
Atas rasa sakit berkepanjangan ini dan
mengutip dwitasarii.blogspot.com
makasih ka dwita, menjadikan ini sedikit sempurna...
sincerelly, @ditaprilias :)