Kamis, 28 Maret 2013

Sebulan Setelah Kepergianmu

17 March 2013

Tak menyangka, sudah sebulan kamu meninggalkanku. Perpisahan ini seperti mendorongku pada dunia yang sungguh menyorotkanku pada keterpurukan. Aku semakin tidak mengerti. Takdir ataukah hanya keterpaksaan yang membuat jalan kita semakin terlihat gelap?

Tak ada lagi kamu yang mengisi barisan hari-hariku, biasanya hanya kamu yang mengisi inbox handphone-ku. Aku ingat sekali tawa khasmu, serta logat bahasamu yang tidak jelas itu. Tak ada lagi semangat, dan sapaanmu yang siap mengantarku ke alam mimpi. Tak ada lagi genggaman tanganmu yang menguatkanku. Tak ada lagi pelukan khas dari lenganmu yang meredam segala airmataku. Tanpamu...semua berbeda, semua tak lagi sama.

Mentari datang, melewati celah- celah vitrace-ku dengan tatapan yang sama. Aku membuka mata dan berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau tak ada kamu yang memenuhi hari-hariku. Aku mencoba meraih ponselku, apakah disana sudah ada malaikat yang bersarang? Namun, tak ada lagi pesan singkat darimu. Hari yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang hilang.

Lalu, kujalani rutinitasku seperti biasanya. Kamu tentu tahu. Dulu kita sering berbagi hari- hari yang kita jalani. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang ikut berperan dalam hari- hariku. Tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkanku untuk menjaga pola makan ataupun hal yang harus kulakukan. Sepele memang, aku mandiri dan sangat tahu apa yang harusnya aku lakukan. Tapi...entah mengapa aku seperti merasa kehilangan yang telah kujaga. Aku seperti mencari, tanpa pernah tahu apa yang kucari.

Siapa yang harus disalahkan? Aku kah atau kamu? Atau keadaan ini yang selalu menyudutkan kita, sehingga kita tak mampu merubahnya? Atau jarak yang telah lama menyiksa kita, sehingga kita tak mampu saling mengobati satu sama lain? Siapa yang harus menyembuhkan luka- luka dihati kita berdua? Haruskah . . . . . 

Aku benci pada setiap aktifitas yang kujalani bersamamu, dan sekarang tak lagi bersamamu. Aku benci pada sorot matamu yang enggan pindah dari langit- langit kamarku. Tatapan itu seperti membawaku pada angan-angan tinggi dan jatuh karena realita yang memukulku. Aku benci, aku selalu terbawa pada halusinasi atas kamu dan aku, seperti yang sering kamu ceritakan. Kamu, Aku, Kita; yang dulu satu . 

Mencoba untuk tidak mengingat rasa sakit yang kamu berikan. Semakin lama aku merasa...entahlah. Rasa ini begitu absurd dan sulit untuk kujelaskan. Aku terjebak pada ilusiku sendiri. Kamu yang meninggikanku, membawaku ke tempat yang sangat sulit kuartikan sebagai cinta atau obsesi sesaat. Rasanya ingin sekali aku mengobrak- abrik isi kamarku, memecahkan kaca tersebut agar takkan pernah lagi melihat diriku. Aku tak mengenali siapa sebenarnya yang ada pada kaca itu. Aku kehilangan setengah dari diriku yang kamu bawa pergi, entah kapan kembali. Kamu mengambil semua yang aku punya. Kamu merampas habis cinta yang aku punya. Tubuhku menghilang secara magis, setelah kepergianmu. Entahlah, aku seperti kehilangan arah.

Apa yang harus aku lakukan? Rasa kita memang berbeda Sayang. Kamu perlu mengajariku untuk tidak terus meratapi apa itu kehilangan. Kamu perlu mengajariku untuk tidak terus mengejar bayangan. Kamu perlu mengajariku untuk tidak menangisi yang sebenarnya tak perlu kamu tangisi. Jawabanmu selalu sama, aku benci kamu yang tak lagi peduli. Tak bisakah airmataku ditukar dengan kebahagiaan kita di masa lalu? Aku bisa berhenti memercayai cinta jika terlalu sering tenggelam dalam keterpurukan ini. Siksamu memang terlalu besar untukku dan aku terlalu lemah untuk merasakan semua rasa sakit yang telah kausebabkan.

Bagaimana mungkin aku bisa menemukan yang lebih baik jikaaku pernah memiliki yang terbaik? Bagaimana mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih sempurna jika aku pernah memiliki yang paling sempurna?

Aku benci pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu
harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja bahagia ataupun
tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka. Kita seperti saling menyakiti, tanpa
tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu
apa yang harus dipermasalahkan. 


Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar
cinta. Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah
harus kusebut apa. Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit
itu. Aku merasa sangat kehilangan, sementara kamu dalam hitungan jam telah
menemukan yang baru. Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud
kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu
melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang tak pantas kau lukai(?) 

Jam berganti hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku
jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Kamu lanjutkan hidupmu, tentu saja
dengan dia. Aku tak menyangka, begitu mudahnya kamu menemukan penganti. Begitu
gampangnya kamu melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi
otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di
hatiku? Atau... mungkin saja kamu tak punya otak? Atau tak punya hati?

Tak banyak hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan.
Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu pergi dan tak
berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya berusaha menikmati luka, hingga
aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan,
kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati
sakitnya.

Aku mulai suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku
mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh
cinta pada rasa sakit yang kau ciptakan selama ini. 



Terimakasih
Karena rasa sakit ini, Tuhan menjadikanku lebih dekat pada rasa bersyukur. 
Karena rasa sakit ini, Tuhan menjadikan pundakku lebih luas dan kuat. 
Karena rasa sakit ini, Tuhan menyadarkanku agar tidak berpeluk pada lengan yang salah. 

Tuhan masih mengizinkanku untuk membiarkan rasa ini tetap mengalir untukmu.
17 February 2012. 


Atas rasa sakit berkepanjangan  ini dan 
mengutip dwitasarii.blogspot.com


makasih ka dwita, menjadikan ini sedikit sempurna...
sincerelly, @ditaprilias :)

Kamis, 07 Maret 2013

Resensi Novel - Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Dan karena aku sudah berikrar akan selalu menuruti kata-kata dia, maka saat dia mengusap rambutku malam itu sebelum pulang dari toko buku, dan berkata pelan: “Belajarlah yang rajin, Tania!”, aku bersumpah untuk melakukannya.
Sumpah yang akan membuat seluruh catatan pendidikanku kelak terlihat bercahaya. Sempurna! -Tania(page 33)

Adalah Tania, seorang gadis kecil yang tiga tahun ini kehidupannya memburuk dikarenakan meninggalnya sang ayah. Ia beserta adik laki-lakinya yang bernama Dede dan ibunya tinggal di rumah kardus di dekat tempat pembuangan sampah. Tepat di dekat pohon linden yang kokoh dan indah menapakkan akarnya. Di tempat inilah semua cerita berasal. Di saat itulah malaikat itu datang menjanjikan masa depan yang cerah. Dan nantinya, di sana pula cerita ini akan berakhir..

Suatu malam, saat Tania dan Dede mengamen di bus, tanpa sengaja paku payung menancap di kaki Tania yang tak mengenakan alas apa pun. Adiknya hanya meringis. Tania hanya bisa mencabut paku payung sambil menahan tangis. Saat itulah malaikat itu datang. Dia menolong Tania. Membersihkan lukanya. Dan memberikan uang sepuluh ribuan. Untuk beli obat merah, katanya.

Namanya Danar. Mereka berdua tahu namanya karena setelah hari itu, dia selalu menunggu mereka di bus kota. Mendatangi rumah mereka dengan keceriannya yang selalu mendatangkan semangat positif. Dan dua minggu setelah pertemuan tak disengaja itu, ia yang menyekolahkan Tania dan Dede. Saat itu keduanya masih SD.

Usiaku menjelang sebelas tahun. Adikku enam tahun. Dan dia dua puluh lima tahun. Aku cemburu. -Tania(page 40) 
Aku masih terlalu kecil untuk mengerti perasaanku sendiri. -Tania(page 43)

Sejak saat itu, hidup mereka membaik. Mereka tak lagi tinggal di rumah kardus. Dia memang sudah seperti malaikat bagi keluarga itu. Membantu mereka tanpa pamrih. Menjadi bagian dari keluarga kecil Tania. Malangnya, Tania yang masih kecil menaruh perasaan lebih padanya. Bukan perasaan seorang adik kepada kakaknya. Bukan pula perasaan seorang anak kepada ayahnya. Juga bukan perasaan menghormati akan apa yang dia lakukan pada keluarga itu.You know, lah, perasaan seperti apa. :p

Bukan salah Tania kalau ia menyimpan perasaan itu sejak ia masih berkepang dua. Juga bukan salah dia yang selalu ada untuk keluarga itu. Tania tidak meminta perasaan seperti itu datang padanya, bukan? Tania juga sebenarnya tidak mengerti perasaan macam apa itu. Ia baru menyadari ada rasa cemburu saat Danar dekat dengan ‘cewek artis’ itu, namanya Ratna.

Bagaimana urusan cinta Tania yang ‘weird’ ini nanti? Akankah ia mampu jujur pada Danar? Bagaimana pula perasaan Danar terhadap Tania? Baca sendiri, ya.

Ketahuilah… daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. –Danar(page 63)

Kisah ini sebenarnya hanya berlangsung sejam lebih. Dari jam 9 malam sampai jam 9 lewat 17—ditambah dengan hanya jam 9 esok paginya. Murni kisah yang diceritakan secara flashbackmelalui sudut pandang Tania. Seorang gadis kecil yang dulunya bukan siapa-siapa namun nantinya menjelma menjadi seseorang yang berguna, berkat malaikat itu! Setiap bab dibuka dengan Tania yang memandang dari lantai dua toko buku terbesar di kota itu. Yang nantinya dia akan menceritakan detail kisah ini dari awal hingga akhir. Sejak ia pertama kali bertemu dengan malaikat itu.

Kalian yang cuman baca review aneh-bin-nggak-jelas ini pastilah nggak bakal ngerti kenapa Tania bisa segitu cintanya sama orang yang udah kepala dua begitu. Ya soalnya aku nggak bisa ngegambarin dengan tepat gimana sosok Danar. Pokoknya nggak bisa sedetail itu ngegambarinnya seperti Bang Tere. Aku juga awalnya nggak ngerti kenapa Tania udah mematri hati cuman buat satu orang itu doang mana si Danar udah tua gitu lagi. Tapi setelah lama-lama aku pelototi, Danar itu memang everything banget lah buat keluarga mereka. Berani jamin, tanpa ada tragedi paku payung itu, Tania bukan siapa-siapa nantinya. Berkat Danar juga, Tania jadi sukses, bukan? Ada untungnya juga Tania jatuh hati sama cowok tua begitu. *eh

“Kamu mungkin lebih cantik, lebih pintar daripada ‘cewek artis’ itu sekarang, Tania. Tetapi lebih cantik dan lebih pintar saja tak cukup untuk menarik perhatian cowok sedewasa dia. Kamu tetap remaja tanggung baginya. Remaja yang menyebalkan.” –Anne (page 124)

Karakter Tania yang pekerja keras, selalu memegang janji, pantang menyerah, dan dewasa inilovable banget. Jarang nih ada abege di novel yang begini. Tania ini merupakan salah satu orang yang punya semangat hidup gede karena cinta! Demi Danar, dia akan menjadi cantik dan dewasa. Demi Danar, dia akan menjadi orang sukses! Hebat, kan? Energi cinta yang positif! Cocok banget buat ditiru! Nah, ucapan Tania yang demi-demi-demi ini sedikit buat aku jleb juga. Soalnya aku pernah gitu—demi “ehem” aku akan lulus SNMPTN. #SalahFokus #MalahCurcol

Terus karakter Danar. He’s lovable, actually. I used to love him, by the way—sebelum baca  bagian akhirnya huehehe. Baik, suka nulis novel, ganteng, charming, menyenangkan, rendah hati banget. Sebutin aja satu-per-satu sifat baik, itulah Danar—on my first perception. He looked perfect. Tapi, nggak, kok. Dia nggak segitu perfect-nya. Tiap manusia pasti ada dark side-nya juga, kan? Saat baca ending, aku baru sadar, kalau Danar nggak se-perfect itu. Tukangfake. Menurutku, itu julukan yang pas banget buat Oom/Kak Danar. Aku bahkan nggak ngerti kenapa respon seseorang sedewasa Danar begitu jadinya di akhir cerita. I don’t know, lah. Terserah Danar. (?) By the way, I hate him so much.. in the end!

Ada juga temannya Tania, Anne. She’s the best friend ever. Baik bangeeeet. Selalu ada saat Tania butuh teman curhat, selalu ngasih petunjuk apa yang harus Tanian lakukan terhadap ini-itu, selalu ngasih pendapat objektif juga. Duh.. kok jadi pengen belajar filsafat seperti Anne, ya? Hahaha. Harus kalian catat, nih, aku lebih suka Anne daripada Tania. *eh

Karakter yang paling aku suka di sini adalah Dede. Iya, adiknya Tania. Menurutku, Dede ini adik yang pinter, rame, pokoknya menghormati kakaknya. Gegara adiknya Tania ini, aku jadi pengin nyoba main Lego huehehe. Paling lucu pas pertama kali Dede makan bebek peking itu. Awalnya dia protes ini-itu tentang bebek, ujung-ujungnya si bebek ludes juga dia makan, kecuali bagian PANTATNYA. Huahaha tos dulu dong, Dede. Aku juga jijik sama pantat bebek! :p

*TernyataPantatBebekAdalahAlasanMengapaSangReviewerSukaDede*

Okay, jangan pikirin pantat bebek. Intinya, novel ini sebenernya bagus, kok. Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari seorang Tania ini. Salah satunya menjadikan cinta sebagai energi positif. Bukan untuk galau-galauan—meskipun Tania juga kadang galau, memangnya siapa sih yang nggak pernah galau? Aku pikir ada untungnya juga Tania cinta sama Danar. Kalau dia nggak pernah segitu cintanya sama Danar, mungkin dia nggak akan lulus bachelor degree jurusan Commerce NUS (National University of Singapore) hanya dalam waktu dua setengah tahun dengan GPA sempurna, bukan?

Satu bintang untuk pohon linden dan paku payung. Bintang yang kedua untuk Dede dan bebek pekingnya. Sedangkan bintang yang terakhir, untuk banyak pesan yang kudapat dari buku ini.

Prinsip hidup itu teramat lentur. Prinsip itu akan selalu berubah berdasarkan situasi yang ada di depan kita, disadari atau tidak. (page 144) 
Orang-orang yang sedang jatuh cinta memang cenderung menghubungkan satu dan hal lainnya. Mencari-cari penjelasan yang membuat hatinya senang. (page 166) 
Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai “menulis” dan “bercerita” dibandingkan saat “praktik” sendiri di lapangan. (page 174) 
“Kebaikan itu seperti pesawat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.” –Danar(page 184) 
Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. -Dede(page 196)